Thursday, August 20, 2009

Kolektivisme dalam "Munggahan"



Oleh SUKRON ABDILAH

Dalam aktivitas masyarakat Islam Sunda, ketika hari-hari mendekati bulan puasa kerap ditemukan praktik munggahan yang membudaya. Bentuknya beragam. Ada yang berziarah ke makam wali, kuburan orang tua, syekh dan ulama penyebar Islam di suatu daerah.

Bisa juga berbentuk bebersih dengan cara mandi di walungan. Bahkan, ada yang ngabageakeun kedatangan bulan Ramadhan dengan cara makan bersama-sama (botram) di pegunungan, sawah, dan bukit-bukit. Di daerah Cianjur dan Sukabumi, malahan ada tradisi “papajar” untuk menyambut kemuliaan bulan puasa ini.

Kebiasaan tersebut mengindikasikan masyarakat Islam Sunda sangat menghormati bulan puasa yang penuh berkah dan ampunan. Namun, antara warga kampung dan kota (dayeuh) berbeda dalam meluapkan tradisi-budaya munggahan ini. Di kampung halaman saya, misalnya, apresiasi masyarakat terhadap kedatangan bulan puasa masih terasa kental suasananya. Sagalana di aya-aya, untuk disajikan pada hari pertama puasa (munggah). Bahkan ada anggapan yang dipegang kalangan muda, bahwa munggah harus dilakukan di kampung, hingga yang bekerja di kota pun akan merelakan diri mudik ke kampung.
....
Hari kemarin, umpamanya, ibu saya menelpon seraya menanyakan apakah saya akan munggahan di lembur. Singkatnya, merayakan hari pertama bulan puasa di kampung bersama keluarga adalah tradisi yang sarat makna. Lantas, bagaimana dengan munggahan di kota , termasuk di Bandung ? Apakah tidak seramai dan segegap-gempita di kampung? Kalau di pusat perkotaan mungkin antara hari menjelang bulan puasa dengan hari-hari biasa tidak ada bedanya. Selalu ramai dengan orang yang lalu lalang. Paling juga bertebaran spanduk peringatan keras bahwa orang harus menghormati bulan berkah ini.

"Munggahkeun" diri

“Munggahan” secara etimologis berasal dari kata unggah yang memiliki arti mancat atau memasuki tempat yang agak tinggi. Di dalam Kamus Umum Basa Sunda (1992), munggah berarti hari pertama puasa pada tanggal satu bulan Ramadan (unggah kana bulan anu punjul martabatna). Punjul martabatna, kalau ditafsir secara kontekstual bisa berarti bulan yang luhur bermartabat dan harus dipenuhi laku lampah yang bermartabat pula. Para aparat dan pejabat tak seharusnya terus memangkas anggaran untuk memberdayakan rakyat, kaum kaya di Jawa Barat mestinya bisa menggenjot diri untuk terus mengempati penderitaan wong cilik.

Hal ini bisa terwujud andaikan, mereka mampu menangkap keluhungan ibadah puasa. Sebab, jika dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, bulan puasa memiliki ketinggian nilai yang tiada banding. Kita tahu bahwa puasa salah satu ajang pelatihan bagi manusia untuk menderitakan diri meskipun dihadapan tersedia aneka macam makanan, minuman, uang anggaran pembangunan, dan pemicu yang dapat mengundang munculnya amarah dan tindakan korup. Puasa dalam posisi seperti itu bisa juga difungsikan sebagai media mendidik diri untuk tidak bertindak jahat dan semena-mena terhadap kalangan miskin.

Seandainya kita bisa meninggalkan sikap dan laku seperti itu, pertanda bahwa kita sudah berhasil menaikkan (munggahkeun) diri hingga memiliki sikap dan tindakan yang luhur. Itulah mengapa munggahan saya katakan sebagai proses "munggahkeun" diri ke pribadi yang dihiasi keluhuran. Mengapa? Sebab, untuk menjalani ibadah puasa, tentunya sikap dan tindak keseharian harus sarat dengan keadiluhungan sebagai persiapan mental dan spiritual dalam jihad memerangi hawa nafsu.

Nah, kalau begitu kita akan munggahan di mana? Pulang ke kampung halaman ataukah akan dirayakan di kota ? Yang jelas, di mana pun tempatnya, perlu diingat bahwa munggahan mestinya bisa menciptakan empati dan kolektivisme di tengah-tengah pergaulan sosial. Sebab, munggahan merupakan tradisi lokal yang berdialektika dengan ajaran Islam untuk menyadarkan manusia bahwa perilakunya harus bersih dari anasir-anasir yang bisa mengotori jiwa.

Artinya, puasa harus dijadikan medium untuk mengempati penderitaan orang lain hingga engkau (si miskin) adalah aku (yang merasakan penderitaan fakir miskin). Itulah inti dari munggahan yakni mempersiapkan diri untuk ngunggahkeun pribadi ke posisi yang dihiasi rasa empati dan kolektivisme. Sebab, Tuhan mewajibkan hamba-Nya berpuasa di bulan Ramadan untuk menyadarkan bahwa kita harus terus merasakan dan menanggulangi penderitaan sesama.

Sucikan diri

Betapa tidak, ketika kita berpuasa sebetulnya tubuh dan jiwa kita dilatih agar dapat memberikan manfaat bagi orang lain atau sesama. Lihat saja, ketika bulan puasa tiba setiap mesjid di kota ini akan menyediakan aneka panganan untuk sekadar dijadikan pembuka (ta'jil) ketika waktu berbuka tiba. Dengan tradisi munggahan sebetulnya kaum muslimin Sunda diajarkan untuk mengingat bahwa bulan puasa mesti diawali dengan kesucian diri, pribadi dan hati.

Suci diri dari nafsu keserakahan, bersih pribadi dari perilaku kotor, dan bening hati hingga bebas dari prasangka diskriminatif terhadap orang yang berbeda suku, agama, pemahaman dan keyakinan. Sebab, prosesi munggahan kerap menampakkan hal itu dan bisa dilihat dari penyambutan melalui acara syukuran bersama tanpa sekat-sekat kelas dalam pelbagai bentuk. Utamanya, memberikan kebutuhan pokok pada warga miskin tanpa membeda-bedakan untuk digunakan pada hari pertama menjalankan puasa.

Sebagai suatu adat-kebiasaan, munggahan tidak harus ramai menggegap-gempita saja, melainkan sampai pada mampu ataukah tidak, urang Islam Sunda menangkap pesan inti pembebanan ibadah puasa. Sebab, secara substantif pembebanan puasa sebulan penuh adalah untuk mengajarkan masyarakat di tatar Sunda agar mampu mengempati penderitaan orang-orang lapar dan tertindas (mustadz'afin). Tak salah jika berpandangan, tradisi munggahan merupakan awal dari proses munggahkeun diri untuk memijakkan nilai-nilai ketuhanan di aras kebiasaan yang bernilai sosial dan manusiawi.

Jadi, munggahan kalau direnungkan akan mempererat rasa kolektif antar manusia Sunda hingga dapat mengeluarkan diri dari jurang kemiskinan. Tradisi munggahan juga secara praksis sosial adalah salah satu aktus atau habitus yang bakal menaikkan diri kita ke tangga pribadi yang sarat nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, bulan puasa tahun ini harus dijadikan bulan untuk meninggalkan perilaku adigung-adiguna, pedit, jail, kaniaya dan linglung yang merupakan representasi anomali kemanusiaan dalam diri kita. Wallahua'lam

SUKRON ABDILAH, Pegiat Studi Agama dan Kearifan Lokal Sunda.

(Artikel ini dimuat dalam Kompas)

0 comments: