Wednesday, July 29, 2009

Aep Suharto, Replika dari Baranangsiang

PEPIH NUGRAHA

Jika ditanya di mana alamat studio atau kantor ”fvoids” milik Aep Suharto, jawabannya di Jalan Baranangsiang No 262/34B, Bandung. Jika ditanya lagi, di mana persisnya, Aep akan menjemput tamunya di depan Gedung Rumentang Siang di sekitar Pasar Kosambi, Bandung.

Pasalnya, agak sulit manakala harus memasuki labirin gang berkelok-kelok untuk sampai rumah merangkap studionya itu.

Perlu dijelaskan profesi yang disandang Aep adalah sebagai pembuat replika atau tiruan. Jadi, adakah profesi Aep itu sebagai peniru? Memang ada benarnya. Dalam pekerjaan seninya, Aep meniru apa saja, termasuk meniru dirinya sendiri berupa boneka manusia atau manekin.

Perjumpaan dengan Aep terjadi di Gedung Sabuga Institut Teknologi Bandung, 3-4 Januari 2009. Aep yang mengibarkan bendera ”fvoids” (berarti ”Aep pengisi ruang kosong”) sebagai identitas usahanya berpameran di tempat ini.

Dia memajang patung manusia berupa manekin yang tengah jongkok. Itulah patung diri Aep dengan ukuran sama persis. Detail sampai-sampai jerawatnya pun ditiru.

”Untuk kepentingan pameran ini, saya meminjam manekin dari sebuah distro sebab manekin ini sudah saya jual,” kata Aep mengenai manekin yang mirip dirinya itu.

Selain manekin, dipamerkan juga replika tahu sumedang lengkap dengan cabai rawit hijaunya. Ada gantungan kunci berupa potongan jari dan telinga yang, maaf, masih terlihat darah, bahkan tulang rawannya. Jadi mirip mutilasi!

Ada pula keramik berpenutup yang ketika dibuka, lagi-lagi maaf, isinya kotoran manusia. Jangan salah, itu cuma replika yang terbuat dari campuran karet dan fiber meski bentuknya amat persis.

Tak puas hanya melihat stan pameran, Kompas menelusur studio merangkap kantor ”fvoids”, yang menurut Aep, satu-satunya studio seni di Bandung yang mengkhususkan diri pada seni replika atau meniru benda apa saja.

Pengalaman jenaka

Aep memulai cerita dengan pengalaman jenaka, tetapi cukup ironis. Kisah bermula tahun 1998 saat Aep hendak berpameran di Yogyakarta dengan membawa manekin berbentuk dirinya. Aep pun pergi dengan membawa replikanya. Jadilah ia seperti tengah menggendong ”kembarannya”. Oleh karena bawaannya banyak, ia mencegat taksi ke stasiun kereta api.

”Tidak ada satu pun taksi berhenti. Kalaupun berhenti, sopir taksi itu hanya memandang saya kemudian ke manekin setelah itu pergi. Mungkin saya dikira orang gila,” kata Aep yang saat wawancara ditemani anggota tim kreatif, seperti Tommy, saudaranya yang diserahi urusan multimedia; Hendri yang menjadi dosen; dan Endang yang diserahi tugas sebagai ”tukang” cetak.

Cerita jenaka Aep dan manekinnya belum selesai. Saat di dalam kereta kelas bisnis menuju Yogyakarta, ia mendudukkan manekin di sampingnya karena kebetulan kursi kosong. Aep lalu berpura-pura tertidur pulas. Datanglah seorang pengamen yang langsung menyanyikan beberapa lagu di depan manekin itu.

”Saya nyaris ngakak ketika melihat pengamen menghentikan nyanyiannya saat tahu kalau ’orang’ yang dihiburnya hanya manekin. Pengamen itu tidak marah, malah tertawa dan pergi,” cerita Aep, bungsu dari 14 bersaudara ini.

Dilahirkan dan dibesarkan di tempat di mana studionya berada, Aep sempat kuliah di Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) selepas berganti-ganti kuliah empat kali pada 1987. Ia lulus SMA di Bandung dua tahun sebelumnya.

Kuliah di ITB dia jalani selama tujuh tahun, sampai tahun 1994. Namun, yang didapat Aep bukan ijazah, tetapi surat pengunduran diri.

”Saking asyiknya bekerja seni, saya bahkan tidak tahu kalau besok itu ujian yang menentukan,” kenang Aep, putra dari seorang purnawirawan Angkatan Darat ini.

Ia mengakui, membuat manekin dan replika itu bukan asli idenya. Ide tersebut datang dari rekan sekampusnya, Goygautama, yang saat itu mendapat pesanan membuat replika jempol dari sebuah bank.

”Dari situ saya berpikir, kenapa hanya jempol yang dibuat, mengapa tidak badan secara keseluruhan, lengkap dengan detailnya,” kata Aep yang mampu membuat jari, kaki, atau tangan palsu untuk mereka yang membutuhkan dengan sangat mirip.

Hanya saja, yang membedakan Aep dengan hasil replika lainnya adalah detail dan obyek yang digarapnya sebagai manekin. Dulu, katanya, replika paling terkenal adalah aktor Charles Bronson yang ada di mana-mana, tetapi dibuat dengan kasar dan kaku.

”Mengapa tidak membuat yang detail sesuai aslinya? Mengapa harus Bronson? Mengapa tidak diri saya sendiri yang dijadikan manekin?” kata Aep di studionya, yang berdinding tanpa plester.

Alhasil, ia membuat beberapa manekin sebagai ”penarik perhatian pengunjung” untuk distro-distro di kawasan Cihampelas. Satu manekin dibuatnya selama tiga minggu dengan harga Rp 15 juta.

Uang hasil menjual manekin dan replika makanan, jari-jari, serta kuping manusia disebutnya untuk menghidupi diri dan anak perempuannya, Alvi Nabilazzahra (7).

Sebagai seniman, Aep tidak melupakan idealismenya. Ia menyebutnya sebagai seni murni di ranah replika. Contohnya adalah bagaimana Aep menggambarkan ”sosok” koruptor. Ternyata ia tidak membuat manekin salah satu koruptor Indonesia, tetapi Aep malah membentuk tulisan ”Koruptor” dari replika, maaf.., kotoran manusia di atas sekop plastik warna merah.

Kotoran manusia itu dibuang ke tempat sampah plastik putih yang sudah ditutupi kantong plastik hitam. Di dasar kantong plastik itu ada cerutu yang melambangkan sosok koruptor.

”Tidak harus basa-basi. Bagi saya, koruptor itu sama dengan kotoran manusia Jadi, buang saja ke tempat sampah,” kata Aep.

Tentang bangsa Arab yang terkesan diam saja melihat Jalur Gaza dibombardir tentara Israel sehingga menewaskan ratusan penduduk Palestina, lagi-lagi muncul bentuk replika kotoran manusia.

Kali ini, kotoran manusia ditamparkan ke wajah seorang Arab, yang meskipun sudah ditampar kotoran, tetap saja tertidur pulas.

”Bisa ditebak, pihak mana yang saya gambarkan sebagai kotoran manusia itu,” katanya.

Selain menghasilkan karya seni dan replika manekin, Aep dan tim kreatifnya bertekad membuat semacam museum lilin Madame Tussaud, seperti di London, Inggris. Dia berharap museum yang diimpikannya itu bakal terkenal sebagai ikon baru Kota Bandung.

Bedanya, model-model sebagai isi museumnya nanti tidak harus orang ternama, cukup rakyat biasa, tetapi perjuangannya untuk bertahan dan menghargai kehidupan dapat menjadi contoh generasi berikutnya.

Aep juga berharap bisa mewujudkan keinginan untuk membuat replika dari semua suku bangsa di Indonesia untuk koleksi Taman Mini Indonesia Indah, lengkap dengan peralatan hidup dan makanan khas masing-masing.

”Saya juga akan tetap mengingatkan pejabat dan masyarakat pada kondisi sosial yang tengah terjadi lewat seni replika.”

Sumber: Kompas

0 comments: